Minggu, 29 September 2013

dibuang sayang

“API IDEOLOGI”
Kami para mahasiswa, pada hari ini gegap gempita. Toga-toga tersemat rapi, melekat ketat pada kepala kami, meski beberapa terlihat kedodoran pada sosok bertubuh mini. Tapi sebagaimana seragam hitam yang kami kenakan begitu pula perasaan kami hari ini, serempak untuk bahagia, bersuka, bergembira atau apapun paduan kata yang menggambarkannya, entah lega, haru, riang dan bersemangat. Kami dibanjiri optimisme.
Kami berbangga hari ini, berlagak seorang raja sehari dan bak pahlawan yang disambut dari kemenangan setelah menjalani peperangan. Kami pahlawan, kami lah masa depan, dan kami lah mahluk-mahluk paling bermakna yang akan membangun negeri ini. Selamat datang masa depan, cerah dan sukses menanti  dan bersiaga memeluk raga kami yang muda ini. Kami mahasiswa pertanian, selalu berideologi memajukan pertanian nasional, cita-cita bangsa memakmurkan petani, memberi kebijakan, mensubsidi dan melayani. Target kami tidak terbatas pada swasembada, melainkan pemenuhan kebutuhan seluruh bumi.  Mengapa kami begitu yakin? Begitu Optimis? Ya, karena kami diberitahu dan kami mencari tahu, bangsa kita ini kaya, bangsa mandiri, berbudi dan berpekerti, bangsa subur dan makmur serta berlimpah sumber intelektual sejati. Kami yakini dan kami mengimani.
Hari ini kami mengambil gambar, bergaya dan mematut senyum terbaik yang kami miliki. Mencari angle terbaik yang sering kami lakoni. Kami berusaha mematri perasaan-perasaan hari ini, berjaga kalau sewaktu-waktu cita-cita kami memudar. Mengingat masa ini sehingga kami kuat dan berkobar lagi.
Sebulan sudah berlalu. Kami mulai berpacu dengan waktu, mengcopy ijasah dan CV sebanyak-banyaknya. Menghadiri job fair dan para pemberi hati. Waktu bergulir semakin cepat, terpaksa kami menggunakan teknologi untuk mengimbanginya. Ya teknologi, alat yang sangat kami agungkan saat ini. Dengan sekali klik berpuluh lamaran berlari bagai bayangan. Tak butuh hari atau hitungan jam yang berarti , semua serba praktis, serba cepat dan serba gratis. Lalu kami menunggu,menunggu, dan menunggu. Seringkali tak ada kualifikasi namun kami terjang dan terus membabi buta.
Bulan demi bulan, beberapa tumbang. Melupakan jati diri kami. Manakah yang lebih berideologi? ‘Harga diri atau Kemiskinan’. Uang kami menipis, tak sanggup lagi membayangkan jika akan ada bulan-bulan seperti hari ini. Subsidi telah terhenti kalaupun ada kami tak berani. Kami terpaksa menggadaikan harga diri, ideologi , cita-cita dan janji suci. Hangus sudah. Terbakar api kemiskinan yang menggerogoti.
Separuh sudah yang menyerah, tak pernah mengenal lagi arti pertanian. Beberapa menyesali mengambil jurusan ini, beberapa mengutuk dalam hati. “Jika saja begini nasib kami, tentu aku tak sudi, sudah menggadaikan harga diri, ditumbuhi jamur frustasi dan ditenggelamkan oleh rasa tak percaya diri”. Ditolak berpuluh perusahaan bukan hanya menyakitkan tapi bak parasit yang menggerogoti kesehatan jiwa. Kami merasa tak mampu, tak berdaya dan tak berguna. Apa yang salah?? Ya kami kehilangan kepercayaan diri, bagaimana mungkin harus mempertahankan kepercayaan pada kemajuan pertanian.
Kami berlomba mencari tambang penerus kehidupan, ‘tidak, kami tidak berharap kaya, kami tidak serakus itu, kami hanya bersedih karena dihadapkan pada pilihan’. Sebagaimana ‘opportunity cost’ yang kami pelajari di perkuliahan, kami harus memilih, mana yang akan kami korbankan? Ideologi atau perut lapar Ibu dan adik-adik kami, pinjaman tetanggapun harus segera dilunasi, maka ego kami harus ‘diprihatinisasi’. Mahal, terlalu mahal bagi kami untuk membayar ideologi, kami tak mampu membelinya, kami tak sanggup mempertahankannya, terlalu banyak yang harus dikorbankan. Kami menyerah, mungkin nanti. Maafkan kami petani.
Tanah-tanah kalian akan tetap kering pada musim kemarau, sayur-sayur akan tetap busuk di musim penghujan, cuaca buruk akan menghantam perekonomian kalian, harga melantai ketika panen raya tiba dan sistem ijon tetap setia berkuasa. Padi-padi akan tetap dibanjiri air dengan hasil panen tak pernah menentu, pupuk-pupuk akan terus tak terbeli dan organik seringkali hanya cerita di kota, para petani berdasi. Kalian yang menanam padi akan terus mendambakan nasi untuk pangan sehari.
Bulan bertambah lagi, kamipun bertransformasi, lahan-lahan kami mulai berwujud gedung pencakar langit. Kami bertebaran dimana-mana, sebagai jurnalis, ekonom, banker, editor, Prajurit dan terkadang debt collector. Kami sudah lupa, benar-benar lupa atau memang tak peduli lagi. Kami terlalu sibuk dengan urusan kami kini. Hari-hari dimana kami berdiskusi, mencari solusi, dan formulasi yang tepat sebagai ‘blue print’ untuk kesejahteraan petani. Kami berkutat pada diri sendiri, orientasi kami beradaptasi, tak bisa lagi dipungkiri, Kami menjadi mahluk kota sejati.
Udara sejuk telah berganti menjadi uap-uap kelabu, mengepul ke udara, kelam dan pekat. Karbon monoksida kendaraan dan pabrik berlomba mencapai langit. Suara-suara bising memekik, tak pernah hening di tempat yang baru ini. Surga dunia untuk yang sukses dan bagai neraka bagi yang tak berpunya.
Damai telah menjadi sesuatu yang langka, dateline dan pressure nyaris membuat kami gila. Macet dan kesemrawutan mengajarkan kami untuk mempertipis kesabaran. Penat dan stress yang menjadi-jadi. Di sini dituntut untuk memaki, tidak sopan ataupun egois. Atas nama pekerjaan dan tenggat waktu kami menggadaikan bumi pekerti. Berteriak, mengutuk dan membanting pintu tak perlu dilihat dalam drama, semua dapat ditemui di jalan raya. Dan semua itu nyata.
Kami kini berubah menjadi mesin pekerja, sebagaimana telah diramalkan pada abad-abad sebelumnya, masa depan akan dikuasai oleh mesin dan robot. Ya itulah nama lain kami kini. Fungsi kami sama. Bekerja, bekerja dan bekerja. Bukankah itu manusiawi, demi profesionalitas, demi  pemenuhan kebutuhan. Hak dasar yang paling hakiki ‘bertahan hidup’. Kami tak ada pilihan dan tak banyak pilihan.
“Ah, andai saja dulu kupahami, untuk menjadi bangsa maju tak perlu menjadi bangsa yang kaya hasil bumi, tentu takkan sekecewa ini’.
“Ah, andai kutahu untuk merumuskan kebijakan pertanian tidak diperlukan mahasiswa sejati , tapi politik masa kini, tentu aku takkan merasa sebodoh ini”.
“Ah, andai kutahu berkuliah hasilnya seperti ini, tentu aku lebih memilih menjadi petani, karena tak harus menonton para politisi mencari kebenaran dan mengabaikan keadaan,  keadaan miris para petani”.
Yah setidaknya petani sudah mandiri sejak dulu, suatu hal yang pantas disyukuri para politisi, dan seharusnya mereka bersyukur, petani bangsa ini tak terlalu banyak tuntutan, mereka membumi dan terus saja memaklumi para pendiri negeri.
“Lihat aku kini, aku bagai mumi dan manusia setengah tani”. Mahluk  tanpa jati diri dan kehilangan budi pekerti.  Dipenuhi daki tiap hari dan menjadi kuli bahkan bukan di ladang sendiri.
Habis sudah, tak tersisa lagi, spesies kami yang dulu telah bereinkarnasi, tak terlalu memahami atau sekedar peduli pada agri.
Pagi ini dimulai lagi, hari-hari yang jauh dari asri, berhimpitan di kereta ekonomi yang tak manusiawi. Menciumi bau ketiak, asap rokok, dan tercampur dengan aroma kambing jantan yang pekat. Jangan berharap duduk, berdiri sempurnapun takkan mampu kulakoni. Saat seperti ini, pelecehan seksual bahkan tak terdefinisi, semua saling menempel, terlalu rekat, bahkan pencopet pun sulit beraksi. Keringat kami tak lagi asin, melainkan beraroma dan terasa pahit. Anak-anak seumur jagung memanjat cepat ke atap gerbong, lebih lincah dari seekor tupai. Ya kurasa di atap lebih manusiawi, setidaknya terhindar dari pelecehan seksual dan bisa menghirup udara sepuasnya. Tapi kami tetap membisu, kami tak tahu harus mengadu pada siapa tentang semua masalah ini. Kami terbiasa diajarkan untuk memaklumi. Dan sekali ajaran itu terbentuk selamanya akan menjadi sebuah kebiasaan. Bukankah kami bangsa yang baik hati?
Lelah rasanya badan berdiri, kaki tak sanggup lagi menahan tekanan gelombang manusia, kami berhimpitan, berhimpitan dalam arti sebenarnya tanpa ada majas-majas yang mendefinisi atau hiperbola yang menjadi-jadi. Semua apa adanya, sebagaimana terlihat dan terasa. Berkali-kali kami terombang-ambing terbawa arus manusia yang bahkan tak akan terjatuh meski tak berpegangan karena kami terpadati dan ternaungi tubuh-tubuh manusia. Tak ada yang mampu menopang, kami hanya pasrah karena gelombang menerjang.
Dikantor, yang kami pandangi hanya mesin bernama komputer, mengetak-ngetik dan sakit kepala berdentam-dentam adalah menu sehari-hari. Kami tak pernah lagi mencium bau rumput yang diterbangkan angin atau pembiakan bakteri untuk kesuburan hayati.
Sungguh kusadari, pagi ini ketika membongkar laci kerjaku yang bahkan tak pernah sempat kurapikan. Tegeletak begitu saja. Foto wisuda yang menguning, terkena tumpahan tinta yang sudah mengering di ujungnya. Kubalik foto itu, tertera tahun 2006.


“Oh… “, aku mengerang. Tujuh tahun sudah aku begini. Ingin kunyalakan api cita-cita yang dulu pernah terpatri atau sekedar mengipasi bara yang nyaris mati. Lelehan hangat membasahi pipiku. Terlambatkah jika ku kembali??

Minggu, 27 Januari 2013

PROSPEK INDUSTRI GULA NASIONAL : PELUANG, TANTANGAN dan PERAN PTPN X (Persero) Revitalisasi=Industrialisasi


PROSPEK INDUSTRI GULA NASIONAL :
PELUANG, TANTANGAN dan PERAN PTPN X (Persero)
"Revitalisasi=Industrialisasi"
                Gula merupakan salah satu komoditas yang ‘dianakemaskan’  karena termasuk dalam sembilan bahan pokok. ‘Privilege’ yang didapat ini tentu saja disertai dengan obligasi. Ada semacam tanggung jawab dan pencapaian yang harus diraih. Tentu saja, gula sebagai komoditas krusial diharapkan tidak hanya memberi rasa manis dan sekedar pencukup kebutuhan masyarakat, tapi juga memberi kontribusi  nyata bagi kesejahteraan suatu bangsa, bangsa di sini termasuk stake holder, share holder dan seluruh lapisan masyarakat yang berada di sekitarnya. Optimistik harus mengakar dengan kuat, mental harus terbentuk dan dibarengi dengan ‘action’  yang  diramu bersama-sama.
v  Peluang
                Prospek pasar gula dalam negeri sebenarnya sangat potensial. Indonesia yang berpenduduk 237,6 juta jiwa (BPS, 2012) rata-rata mengkonsumsi gula 17 kg per kapita per tahun, sehingga kebutuhan gula  per tahun   4.039,2 juta ton untuk gula rafinasi. Kebutuhan ini masih dipenuhi dari impor karena produksi gula nasional baru mencapai 2,318 juta ton( BPS, 2012). Pasar gula yang besar ini sangat disayangkan jika harus dikuasai oleh negara lain. Kebutuhan gula dalam negeri diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring pertumbuhan penduduk.
Potensi  dalam peningkatan produksi gula akan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1.       Potensi Pasar
2.       Potensi Produksi (Tenaga kerja, Lahan, dan infrastruktur)
3.       Potensi Kebijakan Pemerintah
4.       Potensi Permodalan

1.       Potensi Pasar
Potensi pasar gula tidak hanya dari konsumsi langsung dalam bentuk gula krital putih, pasar potensial lainnya juga datang dari sektor industri. Pasar sektor industri terdiri dari pasar industri makanan dan minuman, pupuk, farmasi, dan energi. Pasar gula dalam industri makanan diperkirakan akan menjadi permintaan terbesar, tercakup dalam industri pastries, es krim, coklat, permen, minuman ringan, pasar jamu dalam kemasan dll. Permintaan pada pasar farmasi dan energi diperkirakan akan menjadi urutan kedua, yaitu produk turunan  dari gula tebu berupa alkohol dan bioethanol yang saat ini sudah mulai bergerak maju. Untuk industri pupuk yang saat ini sudah berbasis mikroorganisme, molase menjadi bahan baku mutlak untuk pertumbuhan kultur, selain itu hasil ampas tebu berupa batang kering dapat pula dijadikan pupuk kompos organik yang bisa menambah penghasilan petani atau digunakan sebagai alternatif pupuk kandang yang kebutuhannya dalam jumlah besar. Pasar gula Indonesia akan menjadi pasar industri raksasa yang berkesinambungan yang akan menyerap banyak tenaga kerja, modal dan industri lain ditambah pasar luar negeri sebagai cadangan. Pasar luar negeri sebaiknya tidak menjadi prioritas mengingat kebutuhan dalam negeri belum terpenuhi, namun perlu diingat bahwa industri adalah industri. Harga yang bersaing mutlak diperlukan. Subsidi ataupun proteksi hanya berlaku di awal tahun, karena kemandirian adalah tujuan utama industrialisasi gula ini. Jika pembenahan menyeluruh sudah dilakukan, maka pemerintah dapat berangsur-angsur menarik subsidi  dan proteksi. Pemerintah akan difokuskan pada proteksi impor karena diasumsikan harga dalam negeri telah mencapai level komersial.
Gelembung pasar yang terus membesar ini harus segera ditangkap oleh pemerintah Indonesia. Karena diperkirakan lonjakan kebutuhan gula akan benar-benar tak terkendali. Peningkatan produksi mutlak dilakukan. Sehingga kontribusinya bagi masyarakat dan negara tidak diragukan lagi. Industri ini akan bersatu dengan industri pertambangan dan pengolahan lain dalam memacu peningkatan pendapatan negara serta menstimulasi UKM untuk terus tumbuh. Pendapatan ini dapat digunakan untuk perbaikan infrastruktur, seperti jalan raya (moda transportasi), irigasi, pergudangan, pelabuhan, peneitian dan industri hulu gula seperti penyedia bibit, pupuk  dan mesin-mesin pengolahan baru.
                Target pencapaian gula akan berubah, yang awalnya hanya sekedar kemandirian atau pemenuhan kebutuhan dalam negeri bergeser menjadi penyumbang GDP, Pembuka lapangan kerja (penyerap pengangguran), pembenah infrastruktur, dan penghasil pendapatan negara.

2.       Potensi Produksi
Potensi untuk meningkatkan produksi di Indonesia didukung oleh ketersediaan lahan potensial  
di Indonesia untuk ditanami tebu. Kesuburan lahan Indonesia telah diakui oleh peneliti dan praktisi gula dari India. Peneliti India tersebut mengakui bahwa lahan Indonesia yang akan ditanami tebu dinilai lebih subur dari lahan yang ditanami tebu di India saat ini. Hal ini diharapkan akan memberi nilai tambah pada peningkatan produksi tebu di Indonesia. Untuk pemenuhan kebutuhan bibit secara masal dapat dipenuhi dari bibit hasil kultur jaringan, sehingga diperoleh bibit dengan kualitas unggul dan presentase hasil yang seragam akan tinggi. Untuk tenaga kerja yang dibutuhkan Indonesia memiliki potensi yang cukup besar, ketersediaan tenaga kerja murah di pedesaan sangat berlimpah. Hal ini menjadi keuntungan tersendiri untuk Indonesia, dimana negara lain bahkan harus mengimpor tenaga kerja untuk bisa melakukan budidaya pertanian. Namun tetap harus dilakukan perhitungan yang tepat agar pekerja dan pengusaha mendapat keseimbangan upah agar tidak ada pihak yang dirugikan. Infrastruktur di Indonesia memang belum terlalu baik, namun investasi di bidang ini diperkirakan akan mendapat keuntungan yang menggiurkan seiring perkembangan industri gula nasional dan internasional.

3.       Petensi Kebijakan Pemerintah
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya sejak lama dalam mendukung revitalisasi gula nasional. Dukungan ini dituangkan dalam bentuk subsidi dan proteksi. Beberapa kebijakan pemerintah diantaranya adalah SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 141 Tahun 2002 yang mengharuskan importir 8 komoditas, termasuk gula, untuk memiliki Nomor Pengenal Importir Khusus (NPIK),   SK Menteri Keuangan No. 324/2002 yang menetapkan tarif impor gula putih, SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643 Tahun 2002 yang mengatur tata niaga impor gula, Instruksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai No. Ins-07/BC/09/2002 yang mengatur prosedur pemeriksaan jalur merah (red line procedure). Dari berbagai kebijakan yang telah ada sebenarnya sangat mendukung industrialisasi gula. Pelaksanaan dan pengawasan menjadi suatu hal krusial yang harus dilakukan. Seperti halnya Indonesia negara lain juga meramu beberapa kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi dan pasar dalam negeri. India misalnya, membuat kebijakan impor gula berkualitas rendah untuk konsumsi dan mengekspor gula kualitas super, sehingga surplus perdagangan tetap terjaga. Kondisi pasar luar negeri sangatlah cepat dan fluktuatif, inilah gunanya proteksi dari pemerintah, bukan untuk memberatkan petani namun regulasi harus dibuat untuk melindungi tanpa menghilangkan kemandirian dalam pengelolaan industri dalam negeri itu sendiri. Jangan seperti EU yang awalnya sebagai eskportir gula, namun karena tidak dibarengi peningkatan produksi sekarang telah berubah status menjadi net importir. Hal-hal seperti ini harus dijadikan pertimbangan dan bahan analisa dalam penentuan kebijakan. Satu hal yang pasti kebutuhan dalam dan luar negeri akan terus meningkat meskipun setiap negara produsen gula dunia terus meningkatkan produksinya. Kita harus segera mengamankan pasar dalam negeri, mengingat besarnya kontribusi dan nilai tambah yang akan diperoleh dari industri gula ini. Karena isu gula telah menjadi isu nasional yang bisa mengentaskan kemiskinan.

4.       Potensi Permodalan
Investasi dalam industri gula seharusnya menjadi hal yang menarik minat investor, hal ini diasumsikan jika pasar gula dalam negeri telah menemukan “pasar ideal”. Pasar ideal yang dimaksud adalah pasar persaingan sempurna dimana setiap pengusaha akan berusaha terus menerus melakukan perbaikan demi mencapai minimal biaya yang harus dikeluarkan. Jika pasar sempurna  telah terbentuk maka optimalisasi dalam segala aspek akan dapat terpenuhi, baik dari produktifitas, upah buruh, biaya pemasaran, dan harga pasar. Proteksi pemerintah dapat difokuskan pada upah buruh, harga dasar dan serbuan impor. Sehingga keberlangsungan industri gula dapat terpelihara namun tetap mensejahterakan petani.
Potensi permodalan dan sumber investasi telah didukung oleh perbankan nasional, yaitu dengan adanya penyediaan anggaran sebesar 7 trilyun oleh Bank BRI, ini hanya salah satu contoh. Perbankan lain tentu saja berperan besar pula dalam memberi kemudahan pinjaman dengan subsidi bunga kredit untuk UKM. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh industri hulu gula seperti petani maupun industri hilir. UKM dalam bidang pengolahanpun dapat terbantu. Subsidi pupuk pun telah dikucurkan oleh pemerintah. Maka sudah sepantasnya lah warga Indonesia bahu membahu dalam membangun industri gula ini.

v  Tantangan
                Tantangan yang dihadapi industri gula dalam negeri adalah pengusahaan gula saat ini tidaklah menguntungkan, hal ini disebabkan produktifitas yang rendah, biaya yang tinggi, pemanfaatan teknologi yang rendah, infrastruktur yang buruk. Beberapa faktor ini telah menyebabkan penyakit yang menggerogoti industri gula, sehingga biaya produksi gula melambung, tidak sesuai dengan upaya yang dilakukan. Hukum bisnis akan berlaku dengan sendirinya, petani dan investor akan berpindah pada komoditi lain yang lebih menguntungkan. Tentu saja mereka tidak dapat dipersalahkan, para petani dan investor tidak lagi tertarik untuk mengusahakan tebu atau gula.
Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya perluasan lahan produksi, peningkatan rendemen gula, minimalisasi biaya produksi, rasionalisasi harga gula berbasis biaya produksi. Dengan adanya perbaikan tersebut diharapkan akan meningkatkan margin dan memberi keuntungan kepada semua pihak.
Harga yang tinggi juga disebabkan oleh kapasitas terpasang mesin, seringkali karena kekurangan bahan baku sehingga pengoperasian mesin belum optimal, hal ini akan menyebabkan tingginya biaya produksi. Bahan bakar alternatif juga bisa digunakan untuk memperkecil biaya produksi. Sehingga perbaikan menyeluruh benar-benar dilaksanakan. Dan diharapkan dapat meminimalkan biaya produksi, meningkatkan margin yang berimbas pada kesejahteraan petani.
Kebijakan impor juga dapat dilakukan, untuk sementara waktu, di saat kebutuhan bahan baku gula belum terpenuhi, pemerintah dapat menetapkan impor gula dalam bentuk bahan baku industri  (raw sugar) untuk memenuhi kapasitas produksi mesin. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan efektifitas mesin produksi yang akan berimbas pada penetapan biaya produksi. Sehingga margin nilai tambah tetap dapat dipertahankan, dibandingkan dengan mengimpor gula rafinasi.
Pemanfaatan teknologi mutlak diperlukan mulai dari teknologi pembibitan, olahan ( mesin, lab), pemasaran, dll untuk peningkatan produktivitas. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu alat murah yang bisa dimanfaatkan untuk membantu industri ini. Organisasi gula harus dilakukan dalam satu atap sehingga tidak ada lagi tumpang tindih antar kebijakan maupun miskomunikasi tentang permintaan dan penawaran. Pada akhirnya industri gula dapat maju dan bersaing dengan gula dari negara lain sehingga mampu memberi kesejahteraan dan menarik minat investor maupun petani untuk mengusahakan tebu dan mengembalikan kejayaan tebu Indonesia seperti pada jaman dahulu.


v  Peran PTPN X
PTPN X sebagai produsen gula dalam negeri yaitu dapat menjadi raw model untuk pengusahaan gula di Indonesia, PTPN X juga harus bekerja sama dengan semua bidang terkait untuk penyediaan informasi yang berkaitan dengan gula baik dari segi investasi atau teknologi pengolahan. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh PTPN X diantaranya:
1.       Memproduksi gula sebagaimana fungsi aslinya sebagai perusahaan produsen gula, yaitu dengan memproduksi gula dan olahan turunan gula dengan terus melakukan perbaikan. Perbaikan ini mulai dari manajemen, produksi di pabrik, kerja sama dengan peani hingga pemasaran dengan pihak luar.
2.       PTPN X sebagai percontohan untuk industri gula nasional daerah lain yang ingin mengembangkan industri gula.
3.       PTPN X dapat menjadi wadah untuk pihak-pihak yang membutuhkan informasi terkait gula.
4.       PTPN X dapat memfasilitasi pemberian kredit kepada para petani  yang bekerja sama dengan perbankan, karena perbankan biasanya membutuhkan data petani yang layak untuk diberi pinjaman.
5.       PTPN X dapat memfasilitasi untuk perjanjian kontrak pemasaran dengan industri-industri gula, seperti kontrak pemasaran dengan pihak industri makanan, minuman, farmasi dll, sehingga ada jaminan pasar dan mampu memproteksi gejolak harga.
6.       PTPN X dapat menjadi penasehat atau acuan pertimbangan kebijakan gula nasional.
7.       PTPN X dapat membantu pemerintah dalam pelaksanaan dan pengajaran kepada petani mengenai teknologi tebu terpadu.
8.       PTPN X dapat membuat kontrak pergudangan untuk proteksi harga yang berfluktuasi.
9.       PTPN X dapat membangun industri percontohan pengolahan produk turunan tebu seperti alkohol dan bioethanol dan sebagai penstimulan pasar dalam negeri.
                Dengan adanya pembenahan terpadu diharapkan industri gula nasional dapat menguntungkan dan memberi manfaat nyata kepada seluruh bangsa Indonesia. Swasembada gula dapat tercapai dan industri gula di Indonesia mampu menjadi dasar pertimbangan industri gula dunia. Indonesia akan menjadi negara yang diperhitungkan dalam keberhasilannya mengelola gula dan produk turunannya secara maksimal.
Penulis : Sry Wisdya
Sumber :
http://www.perhepi.org
http://www.sugarcane.res.in
ec.europa.eu

Sabtu, 29 Desember 2012

mimpi untuk IPB


IPB, Institut Pertanian Bogor, orang-orang awam yang membacanya pasti menyangka kalau IPB merupakan embrio untuk pertanian masa depan. Di Kampus inilah para ahli pertanian digodok dan ditempa. Ya, semua hanya demi satu tujuan memiliki pakar-pakar pertanian yang nantinya akan menjadi panutan, pemimpin, panduan, penyuluh, dsb, dsb..
Sayapun tak sabar menanti hal itu, ketika masih menuntut ilmu disana, banyak mimpi dan doa yang digantungkan disana. Mimpi, doa dan harapan dari petani, mahasiswa, orang tua, dosen, dan segala civitas yang berkaitan dengan pertanian secara modern serta para pemimpi yang mengidamkan peningkatan kemakmuran rakyat.
Namun, nyatanya ketika kelulusan itu tiba, para akademika berangsur menjauh dari pertanian, melangkahkan kakinya ke arah yang tak terpikirkan sebelumnya. Dunia yang mungkin terkadang jauh dari tanah pertanian, dan mendekat pada kapitalisme. Kami tiba-tiba saja terdorong arus zaman, gelombang pasang dalam memenuhi kebutuhan paling mendasar. Tiba-tiba kami para penerus bangsa yang dulu memiliki mimpi untuk menjadikan pertanian Indonesia maju dan menjadi pemimpin dunia, kini kehilangan arah, kehilangan pegangan, bahkan kami kehilangan sebuah harga diri, tak lagi berani bermimpi.
Lalu saya termenung, terpekur sendiri, apa yang salah, mengapa selama 4 tahun komitmen kami, lebur begitu saja. Dosakah ini, pengkhianatkah kami?
kami berupaya sekuat tenaga, membanting tulang,otak dan bahkan menggadaikan mimpi, apa yang salah disini, bukankan hanya butuh satu part puzzle lagi, hingga semua menjadi nyata. Semua telah diberi, diupayakan dan dikorbankan, lalu mengapa pertanianku masih begini???jauh dari sejahtera, kami para petani dan para cendekia tetap tak mampu berdiri, sekali lagi, apa yang salah??
Saat kami lulus, tiba2 saja ujian yang biasa kami jalani di kertas ataupun di lahan-lahan pertanian bahkan di laboratorium, entah berbentuk ruang dengan tabung-tabung atau hanya sekedar laboratorium komputer, semuanya berubah, semua menjadi lebih nyata. Kami memang pernah bermimpi atau sekedar bertekad dalam hati, tapi lihat betapa rapuhnya kami, kami bahkan terlalu malu untuk berdiri, untuk sekedar mendongakkan kepala, dan mengakui bahwa kami alumni pertanian dari salah satu institusi pertanian yang kata orang terbaik di negeri kami ini. Kami tersapu arus, gelombang yang datang terlalu besar, tak mampu menahan ujian, kami lemah dan menggadaikan cita-cita. Sebulan 2 bulan setelah kelulusan kami tetap bertekad untuk bekerja di bidang pertanian, tapi hitungan bulan makin bertambah dan keuangan semakin berkurang, kami yang punya janji suci ternyata juga butuh makan, belum lagi orang tua di kampung dan adik2 butuh uang untuk sekolah, kami tak ada pilihan. Sedikitnya kesempatan kerja di Indonesia di bidang pertanian nyatanya tak memberi kami jaminan untuk berbakti pada pertiwi. Kami sungguh bukan ingin berkhianat hanya memenui kebutuhan dasar untuk hidup, dan industri memberikan kami kesempatan untuk kembali bermimpi, kami terlempar pada perusahaan perbankan dan keuangan, dan industri lain yang jauh dari pengembangan pertanian secara rill. Maaf hanya itu yang bisa kami katakan, bukan sepenuhnya salah kami.
Andai IPB punya kemampuan mengembangkan perusahaan Agribisnis dari hulu sampai hilir, tentu kami dapat terserap, dapat termanfaatkan dengan baik dan dapat berbakti, kami tak perlu menggadaikan harga diri, membuang hari dengan sesuatu yang jauh dari visi. Kami hanya bisa bermimpi, mimpi untuk IPB dan pertiwi.Do'a kami untuk IPB.

Selasa, 21 Agustus 2012

mimpi saat terjaga

Hari ini, sekali lagi, terkadang kita yang mengaku merdeka dan memiliki kekuasaan penuh terhadap diri sendiri, ternyata tak berdaya mengekang pemikiran yang sering kali menjajah pusat kendali, otak.
Mimpi kali ini entah mengapa tiba2 berhubungan dengan betapa indahnya jika kita memiliki kemerdekaan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar seorang manusia. Entah mengapa kesejahteraan dan peningkatan pengetahuan tentang agama, budi pekerti dan kemampuan seorang anak dalam mencapai daya imajinya, menjadi sebuah hal yang mengusik ketenangan hati.
Mari kita mulai dengan berandai-andai detik ini. Saya yakin akan ada beribu atau berjuta kata "jika" yang akan memenuhi blog ini ke depannya. Karena sekali lagi saya berharap blog ini menjadi EmbrioIndonesiaBaru.
Saya bermimpi jika saja kita mau berubah, mau merdeka, darimanakah kita memulai??
Beberapa orang kecil bertutur jujur, entah mana yang lebih baik, merdeka atau dijajah, memiliki otonomi negeri atau lebih baik menjadi negara persemakmuran??
Sekali lagi saya tersenyum, tentu saja merdeka dan memiliki otonomi sendiri akan jauh lebih baik. Dan merupakan hak dasar manusia. Mengenai penyimpangan yang terjadi dan kemakmuran yang tidak sesuai harapan ketika kita sudah merdeka, bahkan setelah merdeka puluhan tahun, memang sebuah hal yang perlu dikaji. Jelas disana ada penyimpangan dan kesalahan dalam mengelola. Tapi satu hal yang dapat dipastikan sebagaimana kepastian akan datangnya kematian, yaitu "MERDEKA ADALAH BENAR."
Mungkin masih banyak pihak yang belum bisa merasakan kenikmatan akan kemerdekaan yang digaungkan puluhan tahun lalu, sayapun setuju akan hal itu. Inilah mengapa saya mencoba menciptakan dunia saya sendiri dimana saya bisa mengatur sebuah bangsa dan menentukan aparatur yang akan mengelola, serta sistem perekonomian yang akan diberlakukan.