“API
IDEOLOGI”
Kami para mahasiswa, pada hari ini gegap
gempita. Toga-toga tersemat rapi, melekat ketat pada kepala kami, meski
beberapa terlihat kedodoran pada sosok bertubuh mini. Tapi sebagaimana seragam
hitam yang kami kenakan begitu pula perasaan kami hari ini, serempak untuk
bahagia, bersuka, bergembira atau apapun paduan kata yang menggambarkannya,
entah lega, haru, riang dan bersemangat. Kami dibanjiri optimisme.
Kami berbangga hari ini, berlagak seorang
raja sehari dan bak pahlawan yang disambut dari kemenangan setelah menjalani
peperangan. Kami pahlawan, kami lah masa depan, dan kami lah mahluk-mahluk
paling bermakna yang akan membangun negeri ini. Selamat datang masa depan,
cerah dan sukses menanti dan bersiaga
memeluk raga kami yang muda ini. Kami mahasiswa pertanian, selalu berideologi
memajukan pertanian nasional, cita-cita bangsa memakmurkan petani, memberi
kebijakan, mensubsidi dan melayani. Target kami tidak terbatas pada swasembada,
melainkan pemenuhan kebutuhan seluruh bumi.
Mengapa kami begitu yakin? Begitu Optimis? Ya, karena kami diberitahu
dan kami mencari tahu, bangsa kita ini kaya, bangsa mandiri, berbudi dan
berpekerti, bangsa subur dan makmur serta berlimpah sumber intelektual sejati.
Kami yakini dan kami mengimani.
Hari ini kami mengambil gambar, bergaya dan
mematut senyum terbaik yang kami miliki. Mencari angle terbaik yang sering kami
lakoni. Kami berusaha mematri perasaan-perasaan hari ini, berjaga kalau
sewaktu-waktu cita-cita kami memudar. Mengingat masa ini sehingga kami kuat dan
berkobar lagi.
Sebulan sudah berlalu. Kami mulai berpacu
dengan waktu, mengcopy ijasah dan CV sebanyak-banyaknya. Menghadiri job fair
dan para pemberi hati. Waktu bergulir semakin cepat, terpaksa kami menggunakan
teknologi untuk mengimbanginya. Ya teknologi, alat yang sangat kami agungkan
saat ini. Dengan sekali klik berpuluh lamaran berlari bagai bayangan. Tak butuh
hari atau hitungan jam yang berarti , semua serba praktis, serba cepat dan
serba gratis. Lalu kami menunggu,menunggu, dan menunggu. Seringkali tak ada
kualifikasi namun kami terjang dan terus membabi buta.
Bulan demi bulan, beberapa tumbang.
Melupakan jati diri kami. Manakah yang lebih berideologi? ‘Harga diri atau
Kemiskinan’. Uang kami menipis, tak sanggup lagi membayangkan jika akan ada
bulan-bulan seperti hari ini. Subsidi telah terhenti kalaupun ada kami tak
berani. Kami terpaksa menggadaikan harga diri, ideologi , cita-cita dan janji
suci. Hangus sudah. Terbakar api kemiskinan yang menggerogoti.
Separuh sudah yang menyerah, tak pernah
mengenal lagi arti pertanian. Beberapa menyesali mengambil jurusan ini,
beberapa mengutuk dalam hati. “Jika saja begini nasib kami, tentu aku tak sudi,
sudah menggadaikan harga diri, ditumbuhi jamur frustasi dan ditenggelamkan oleh
rasa tak percaya diri”. Ditolak berpuluh perusahaan bukan hanya menyakitkan
tapi bak parasit yang menggerogoti kesehatan jiwa. Kami merasa tak mampu, tak
berdaya dan tak berguna. Apa yang salah?? Ya kami kehilangan kepercayaan diri,
bagaimana mungkin harus mempertahankan kepercayaan pada kemajuan pertanian.
Kami berlomba mencari tambang penerus
kehidupan, ‘tidak, kami tidak berharap kaya, kami tidak serakus itu, kami hanya
bersedih karena dihadapkan pada pilihan’. Sebagaimana ‘opportunity cost’ yang
kami pelajari di perkuliahan, kami harus memilih, mana yang akan kami
korbankan? Ideologi atau perut lapar Ibu dan adik-adik kami, pinjaman
tetanggapun harus segera dilunasi, maka ego kami harus ‘diprihatinisasi’.
Mahal, terlalu mahal bagi kami untuk membayar ideologi, kami tak mampu
membelinya, kami tak sanggup mempertahankannya, terlalu banyak yang harus
dikorbankan. Kami menyerah, mungkin nanti. Maafkan kami petani.
Tanah-tanah kalian akan tetap kering pada
musim kemarau, sayur-sayur akan tetap busuk di musim penghujan, cuaca buruk
akan menghantam perekonomian kalian, harga melantai ketika panen raya tiba dan
sistem ijon tetap setia berkuasa. Padi-padi akan tetap dibanjiri air dengan
hasil panen tak pernah menentu, pupuk-pupuk akan terus tak terbeli dan organik
seringkali hanya cerita di kota, para petani berdasi. Kalian yang menanam padi
akan terus mendambakan nasi untuk pangan sehari.
Bulan bertambah lagi, kamipun
bertransformasi, lahan-lahan kami mulai berwujud gedung pencakar langit. Kami
bertebaran dimana-mana, sebagai jurnalis, ekonom, banker, editor, Prajurit dan
terkadang debt collector. Kami sudah lupa, benar-benar lupa atau memang tak
peduli lagi. Kami terlalu sibuk dengan urusan kami kini. Hari-hari dimana kami
berdiskusi, mencari solusi, dan formulasi yang tepat sebagai ‘blue print’ untuk
kesejahteraan petani. Kami berkutat pada diri sendiri, orientasi kami
beradaptasi, tak bisa lagi dipungkiri, Kami menjadi mahluk kota sejati.
Udara sejuk telah berganti menjadi uap-uap
kelabu, mengepul ke udara, kelam dan pekat. Karbon monoksida kendaraan dan
pabrik berlomba mencapai langit. Suara-suara bising memekik, tak pernah hening
di tempat yang baru ini. Surga dunia untuk yang sukses dan bagai neraka bagi
yang tak berpunya.
Damai telah menjadi sesuatu yang langka, dateline dan pressure nyaris membuat kami gila. Macet dan kesemrawutan
mengajarkan kami untuk mempertipis kesabaran. Penat dan stress yang
menjadi-jadi. Di sini dituntut untuk memaki, tidak sopan ataupun egois. Atas
nama pekerjaan dan tenggat waktu kami menggadaikan bumi pekerti. Berteriak,
mengutuk dan membanting pintu tak perlu dilihat dalam drama, semua dapat
ditemui di jalan raya. Dan semua itu nyata.
Kami kini berubah menjadi mesin pekerja,
sebagaimana telah diramalkan pada abad-abad sebelumnya, masa depan akan dikuasai
oleh mesin dan robot. Ya itulah nama lain kami kini. Fungsi kami sama. Bekerja,
bekerja dan bekerja. Bukankah itu manusiawi, demi profesionalitas, demi pemenuhan kebutuhan. Hak dasar yang paling
hakiki ‘bertahan hidup’. Kami tak ada pilihan dan tak banyak pilihan.
“Ah, andai saja dulu kupahami, untuk
menjadi bangsa maju tak perlu menjadi bangsa yang kaya hasil bumi, tentu takkan
sekecewa ini’.
“Ah, andai kutahu untuk merumuskan
kebijakan pertanian tidak diperlukan mahasiswa sejati , tapi politik masa kini,
tentu aku takkan merasa sebodoh ini”.
“Ah, andai kutahu berkuliah hasilnya
seperti ini, tentu aku lebih memilih menjadi petani, karena tak harus menonton
para politisi mencari kebenaran dan mengabaikan keadaan, keadaan miris para petani”.
Yah setidaknya petani sudah mandiri sejak
dulu, suatu hal yang pantas disyukuri para politisi, dan seharusnya mereka
bersyukur, petani bangsa ini tak terlalu banyak tuntutan, mereka membumi dan
terus saja memaklumi para pendiri negeri.
“Lihat aku kini, aku bagai mumi dan manusia
setengah tani”. Mahluk tanpa jati diri
dan kehilangan budi pekerti. Dipenuhi
daki tiap hari dan menjadi kuli bahkan bukan di ladang sendiri.
Habis sudah, tak tersisa lagi, spesies kami
yang dulu telah bereinkarnasi, tak terlalu memahami atau sekedar peduli pada
agri.
Pagi ini dimulai lagi, hari-hari yang jauh
dari asri, berhimpitan di kereta ekonomi yang tak manusiawi. Menciumi bau
ketiak, asap rokok, dan tercampur dengan aroma kambing jantan yang pekat.
Jangan berharap duduk, berdiri sempurnapun takkan mampu kulakoni. Saat seperti
ini, pelecehan seksual bahkan tak terdefinisi, semua saling menempel, terlalu
rekat, bahkan pencopet pun sulit beraksi. Keringat kami tak lagi asin,
melainkan beraroma dan terasa pahit. Anak-anak seumur jagung memanjat cepat ke
atap gerbong, lebih lincah dari seekor tupai. Ya kurasa di atap lebih
manusiawi, setidaknya terhindar dari pelecehan seksual dan bisa menghirup udara
sepuasnya. Tapi kami tetap membisu, kami tak tahu harus mengadu pada siapa
tentang semua masalah ini. Kami terbiasa diajarkan untuk memaklumi. Dan sekali
ajaran itu terbentuk selamanya akan menjadi sebuah kebiasaan. Bukankah kami
bangsa yang baik hati?
Lelah rasanya badan berdiri, kaki tak
sanggup lagi menahan tekanan gelombang manusia, kami berhimpitan, berhimpitan
dalam arti sebenarnya tanpa ada majas-majas yang mendefinisi atau hiperbola
yang menjadi-jadi. Semua apa adanya, sebagaimana terlihat dan terasa. Berkali-kali
kami terombang-ambing terbawa arus manusia yang bahkan tak akan terjatuh meski
tak berpegangan karena kami terpadati dan ternaungi tubuh-tubuh manusia. Tak
ada yang mampu menopang, kami hanya pasrah karena gelombang menerjang.
Dikantor, yang kami pandangi hanya mesin
bernama komputer, mengetak-ngetik dan sakit kepala berdentam-dentam adalah menu
sehari-hari. Kami tak pernah lagi mencium bau rumput yang diterbangkan angin
atau pembiakan bakteri untuk kesuburan hayati.
Sungguh kusadari, pagi ini ketika
membongkar laci kerjaku yang bahkan tak pernah sempat kurapikan. Tegeletak
begitu saja. Foto wisuda yang menguning, terkena tumpahan tinta yang sudah
mengering di ujungnya. Kubalik foto itu, tertera tahun 2006.
“Oh… “, aku mengerang. Tujuh tahun sudah
aku begini. Ingin kunyalakan api cita-cita yang dulu pernah terpatri atau
sekedar mengipasi bara yang nyaris mati. Lelehan hangat membasahi pipiku.
Terlambatkah jika ku kembali??